SELAMAT DATANG di Blog Orthopaedi, Kami akan menyediakan berbagai informasi tentang bedah tulang di indonesia dan dunia, serta Sarana Konsultasi Gratis

Minggu, 06 November 2011

Osteomyelitis


LATAR BELAKANG.
            Osteomyelitis adalah proses inflamasi akut atau kronik pada tulang dan struktur sekundernya karena infeksi oleh bakteri piogenik.

PATHOPHYSIOLOGY.
            Infeksi pada osteomyelitis dapat terjadi lokal atau dapat menyebar melalui periosteum, korteks, sumsum tulang, dan jaringan retikular. Jenis bakteri bevariasi berdasarkan  pada umur pasien dan mekanisme dari infeksi itu sendiri.
Terdapat dua kategori dari osteomyelitis akut:
1.                  Hematogenous osteomyelitis, infeksi disebabkan bakteri melalui darah. Acute hematogenous osteomyelitis, infeksi akut pada tulang disebabkan bekteri yang berasal dari sumber infeksi lain. Kondisi ini biasanya terjadi pada anak-anak. Bagian yang sering terkena infeksi adalah bagian yang sedang bertumbuh pesat dan bagian yang kaya akan vaskularisasi dari metaphysis. Pembuluh darah yang membelok dengan sudut yang tajam pada distal metaphysis membuat aliran darah melambat dan menimbulkan endapan dan trombus, tulang itu sendiri akan mengalami nekrosis lokal dan akan menjadi tempat berkembang biaknya bakteri. Mula-mula terdapat fokus infeksi didaerah metafisis, lalu terjadi hiperemia dan udem. Karena tulang bukan jaringan yang bisa berekspansi maka tekanan dalam tulang ini menyebabkan nyeri lokal yang sangat hebat.
            Infeksi dapat pecah ke subperiost, kemudian menembus subkutis dan menyebar menjadi selulitis atau menjalar melalui rongga subperiost ke diafisis. Infeksi juga dapat pecah kebagian tulang diafisis melalui kanalis medularis.
Penjalaran subperiostal kearah diafisis akan merusak pembuluh darah yang kearah diafisis, sehingga menyebabkan nekrosis tulang yang disebut sekuester. Periost akan membentuk tulang baru yang menyelubungi tulang baru yang disebut involukrum (pembungkus). Tulang yang sering terkena adalah tulang panjang yaitu tulang femur, diikuti oleh tibia, humerus ,radius , ulna, dan fibula.
2.                   Direct or contigous inoculation osteomyelitis disebabkan kontak langsung antara jaringan tulang dengan bakteri, biasa terjadi karena trauma terbuka dan tindakan pembedahan. Manisfestasinya terlokalisasi dari pada hematogenous osteomyelitis.
Kategori tambahan lainnya adalah chronic osteomyelitis dan osteomyelitis sekunder yang disebabkan oleh penyakit vaskular perifer.
Osteomyelitis sering menyertai penyakit lain seperti diabetes melitus, sickel cell disease, AIDS, IV drug abuse, alkoholism, penggunaan  steroid yang berkepanjangan, immunosuppresan dan penyakit sendi yang kronik. Pemakaian prosthetic adalah salah satu faktor resiko, begitu juga dengan pembedahan ortopedi dan fraktur terbuka.
Rasio antara pria dan wanita 2 :1.


RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
            Gejala hematogenous osteomyelitis biasanya berajalan lambat namun progresif. Direct ostoemyelitis umumnya lebih terlokalisasi dan jelas.
            Gejala pada hematogenous osteomyelitis pada tulang panjang umumnya adalah:
-                      Demam tinggi mendadak.
-                      Kelelahan.
-                      Iritabilitas.
-                      Malaise.
-                      Terbatasnya gerakan.
-                      Edem lokal yang disertai dengan erytem dan nyeri pada
            penekanan.
Pada Hematogenous osteomyelitis pada tulang belakang:
-                      Onsetnya bertahap.
-                      Riwayat episode bekteriemi akut.
-                      Kemungkinan berhubungan dengan insufisiensi vaskular.
-                      Edem lokal, eritem, dan nyeri pada penekanan.
Pada Kronik osteomyelitis :
-                      Ulkus yang tidak kunjung sembuh.
-                      Drainase saluran sinus.
-                      Kelelahan yang berkepanjangan.
-                      Malaise.


Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
-                      Demam ( timbul hanya pada 50 % neonatus ).
-                      Edem.
-                      Terasa hangat.
-                      Berfluktuasi.
-                      Nyeri pada palpasi.
-                      Terbatanya gerakan ekstremitas.
-                      Drainase saluran sinus.

Penyebab: bakteri pada kasus direct osteomyelitis :
Akut hematogenous osteonyelitis.
Pada bayi baru lahir : S. aureus, Enterobacter Sp, dan Stretococcus Sp group A dan B.
Pada anak umur 4 bulan sampai 4 tahun : S. aureus, Enterobacter Sp, Stretococcus Sp group A dan B dan H influenzae.

Pada anak-anak dan remaja muda : S. aureus ( 80 % ), Enterobacter Sp, Stretococcus Sp group A dan B dan H influenzae.
 Pada orang dewasa S. aureus, dan kadang-kadang Enterobacter Sp atau Stretococcus Sp group A dan B.

Differensial diagnosis :
-                      Selulitis.
-                      Gangren gas.
-                      Gout dan Pseudogout.
-                      Neoplasma, pada tulang belakang.
-                      Kelumpuhan pada masa anak-anak.
-                      Osteosarkoma.
-                      Tumor Ewing.
-                      Infeksi  pada saraf spinal.

Lab.
-                      Terjadi pergeseran shif kekiri.
-                      CRP meningkat
-                      Pada kultur hasil aspirasi dari tempat yang terinfeksi   
            ditemukan normal pada 25 kasus, dan 50 % positif pada              
            hematogenous osteomyelitis.
-                      Peningkatan laju endap darah.

Untuk menentukan diagnosis dapat ndigunakan aspirasi, pemeriksaan sintigrafi, biakan darah dan pemeriksaa pencitraan. Aspirasi dilakukan untuk memperoleh pus dari subkutis, subperiost, atau lokus radang dimetafisis. Untuk punksi tersebut digunakan jarum khusus untuk membor tulang.
Pada sintigrafi dipakai Thenectium 99. sensitivitas pemeriksaan ini terbatas pada minggu pertama, dan sama sekali tidak spesifik. Pada minggu kedua gambaran radiologi logis mulai menunjukkan dekstrusi tulang dan reaktif periostal pembentukkan tulang baru.

Therapi :
Begitu diagnosis secara klinis ditegakkan, ekstremitas yang terkena diistirahatkan dan segera berikan antibiotik. Bila dengan terapi intensif selama 24 jam tidak didapati perbaikan, dianjurkan untuk mengebor tulang yang terkena. Bila ada cairan yang keluar perlu dibor dibeberapa tampat untuk mengurang tekanan intraostal. Cairan tersbut perlu dibiakkan untuk menentuka jenis kuman dan resistensinya. Bila terdapat perbaikan, antibiotik parenteral diteruskan sampai 2 minggu, kemudian diteruskan secara oral paling sedikit empat minggu.
Penyulit berupa kekambuhan yang dapat mencapai 20%, cacat berupa dekstruksi sendi, gangguan pertumbuhan karena kerusakan cakram epifisis, dan osteomyelitis kronik.
Pada dasarnya penanganan yang dilakukan adalah :
1.      Perawatan dirumah sakit.
2.      pengobatan suportif dengan pemberian infus dan antibiotika.
3.      Pemeriksaan biakan darah.
4.      antibiotika yang efektif terhadap gram negatif maupun gram positif diberikan langsung tanpa menunggu hasil biakan darah, dan dilakukan secara parenteral selama 3-6 minggu.
5.      Imobilisasi anggota gerak yang terkena.
6.      Tindakan pembedahan.


Indikasi dilakukannya pembedahan ialah :
1.      Adanaya sequester.
2.      Adanya abses.
3.      Rasa sakit yang hebat.
4.      Bila mencurigakan adanya perubahan kearah keganasan (karsinoma Epidermoid).

Prognosis
            Prognosis bevariasi, tergantung pada kecepatan dalam mendiagnosa dan melakukan penanganan.

Selasa, 18 Oktober 2011

Fiksasi Eksterna, external Fixation

PENDAHULUAN
Dalam penanganan pada seorang pasien yang mengalami fraktur terdapat beberapa cara yang digunakan tergantung dari bagaimana bentuk fraktur yang terjadi. Salah satunya adalah fiksasi eksterna yang merupakan teknologi baru yang digunakan untuk menstabilkan patah tulang atau fraktur dengan menggunakan pin yang dihubungkan dengan bars atau frame yang dapat dilihat diluar tubuh.
Teknik ini pertama kali dilakukan oleh Strader seorang dokter hewan kemudian digunakan untuk manusia lebih dari 5 dekade yang lalu oleh Roger
DEFINISI
Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis.(1,4,5,6)
Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau zona trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi untuk menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive treatment berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan jaringan lunak.
Pada pelvis, kompresi oleh fiksasi eksterna dapat menstabilisasikan pelvis, mengurangi perdarahan, sebagai penatalaksanaan resusitasi awal dan sebagai definitive treatment pada beberapa trauma . (2,3,5)
Fiksasi eksterna terutama digunakan ketika terdapat luka dan trauma pada jaringan lunak yang merupakan kontraindikasi langsung untuk dilakukan pembedahan terhadap fraktur.
TIPE FIKSASI EKSTERNA
Terdapat beberapa tipe fiksasi eksterna yaitu : (4)
Pin fixators : unilateral, bilateral frame, V-shaped dan triangular.
Ring (Wire fixator)
Hybrid fixators (wire and pin), adalah tipe fiksasi eksternal yang digunakan untuk fraktur tertutup pada sendi. Dinamakan hybrid karena terdiri dari wire fixation (3/4 ring fixator) dengan pin fixator (fiksasi unilateral pada bagian diafisis).
Pinless external fixators , tujuan utama desain dari pinless fixator adalah untuk menghindari tembusnya pin kedalam kanalis medularis.
Mefisto, merupakan teknik fiksasi eksterna yang baru diperkenalkan dan dirancang untuk limb lengthening dan bone transport.
INDIKASI (4,7)
Terdapat indikasi absolut untuk penatalaksanan fiksasi baik internal maupun eksternal pada fraktur yang terbagi menjadi dua bagian utama yaitu :
1. Saving life, yang dimaksud dengan saving life atau menyelamatkan hidup adalah dengan adanya stabilisasi yang cepat maka dapat mengurangi resiko terjadinya kematian.
2. Saving Limb, stabilisasi pada fraktur diafisis merupakan suatu bagian penatalaksanan darurat terutama pada fraktur dengan trauma jaringan lunak dimana dengan stabilisasi dapat mengurangi kerusakan yang lebih lanjut pada jaringan lunak.
Sedangkan indikasi pada fiksasi eksterna yaitu :
 Fraktur Terbuka
Fiksasi eksterna merupakan satu-satunya kemungkinan yang digunakan untuk menstabilkan tulang pada fraktur terbuka, khususnya pada fraktur terbuka tipe III B dan C. Dengan fiksasi eksterna maka dapat menghindari bertambahnya kerusakan pada jaringan lunak, dan vaskularisasi tulang dapat berjalan dengan baik.
 Fraktur Tertutup
Pada fraktur tertutup, fiksasi eksterna jarang dilakukan, kecuali pada polytrauma yang berat, atau terdapat luka memar yang berat pada fraktur tertutup.
 Polytrauma
Pada polytrauma yang berat, fiksasi eksterna dapat menjadi indikasi utama untuk menstabilisasi multiple fractures.
 Fraktur pada Anak-anak
Pada anak-anak, meskipun terdapat polytrauma atau tidak, fiksasi eksterna tetap merupakan indikasi terapi khususnya pada ekstremitas bawah atau pada kasus dengan fraktur terbuka.
 Indikasi Khusus- articular fractures/ joint bridging
Rekonstruksi sendi yang tepat dan fiksasi yang stabil dengan kompresi interfragmen yang dapat mengurangi nyeri pada pergerakan bebas merupakan terapi utama untuk articular fractures. Tujuan ini dapat dilaksanakan dengan cara ORIF atau pada simpler fractures dengan cara kombinasi lag-screw fixation dan hybrid fixator.
KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN
A. KEUNTUNGAN FIKSASI EKSTERNA(1,4,8)
 Mengurangi kerusakan vaskuler pada tulang
 Mengurangi gangguan pada lapisan jaringan lunak.
 Sangat berguna untuk menstabilkan fraktur terbuka.
 Kekakuan pada fiksasi dapat diatur tanpa prosedur operasi
 Mengurangi resiko terjadinya infeksi.
 Cukup aman untuk digunakan pada kasus dengan infeksi pada tulang.
 Mobilisasi dapat cepat dilakukan oleh pasien, dan bagian tubuh dapat digerakkan dan berpindah posisi tanpa adanya perasaan takut akan terjadi pergeseran pada tulang.
 Kompresi, netralisasi dan distraksi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna sesuai dengan bentuk fraktur.
B. KERUGIAN FIKSASI EKSTERNA (1,4,8)
 Pin dan wires dapat menembus jaringan lunak
 Membatasi pergerakan sendi.
 Terdapat komplikasi pin-track pada penggunaan fiksasi eksterna yang lama.
 Secara mekanis pemasangan pin dan rangka fiksasi sulit dilakukan dan mudah terjadi infeksi jika teknik pemasangannya tidak benar.
 Alat-alat pada fiksasi eksterna sangat mahal.
 Rangka fiksasi dapat terdiri dari beberapa rangkaian sehingga pasien merasa tidak nyaman dan dengan alasan estetika.
METODE DAN TEKNIK PEMASANGAN
 Metode
Terdapat dua metode yang pada umumnya digunakan untuk meletakkan pin yang digunakan pada fiksasi eksterna yaitu : (4,5,9)
1. Through-and-through, yaitu masing-masing pin dimasukkan melalui kulit dan menembus fragmen tulang kemudian keluar menembus kulit pada sisi sebelahnya.
2. One-side (Cantilever system), yaitu pin dimasukkan melewati fragmen tulang tetapi tidak sampai menembus sampai pada sisi sebelah dan menonjol hanya pada salah satu sisi tubuh.
 TEKNIK PEMASANGAN (4,7,10)
A. Teknik pin insertion
Sebelum dilakukan fiksasi, berikan tanda silang pada tempat atau daerah “safe Zone” sebagai tempat untuk memasukkan pin dan meminimalkan resiko trauma pada sistem saraf, pembuluh darah dan tendo.
1. Diafisis
• Untuk pemasangan pin pada bagian diafisis sangat penting bagi kita untuk menghindari terjadinya kerusakan pada tulang akibat rasa panas yang ditimbulkan pada saat memasukkan pin atau schanz screws.
• Untuk memasukkan pin atau schanz screws secara tepat, maka pin tersebut harus mencapai korteks pada bagian ujungnya tetapi tidak sampai menembus terlalu jauh. Dan untuk mencapai sasaran yang tepat maka kita bisa menggunakan ukuran atau dibantu dengan intraoperative x-ray.
• Jika pin yang dimasukkan tidak mencapai ujung korteks maka kemungkinan pin yang digunakan agak
pendek atau pin yang dimasukkan menembus bagian lain. Dan dari gambaran x-ray kontrol akan tampak ‘empty hole’ pada bagian ujung korteks yang berarti skrup yang dimasukkan tidak mencapai ujung korteks.
2. Metafisis
Untuk pemasangan pada bagian metafisis terdapat hal-hal penting yang
harus diperhatikan pada saat akan memasukkan pin atau schanz screw yaitu :
• Tidak membuat trauma pada pembuluh darah dan nadi.
• Tidak meletakkan pin pada sendi.
• Menghindari fracture lines.
• Menggunakan self-drilling screws pada tulang metafisis.
B. Frame construction
a. Tampak gambaran ilustrasi penatalaksanaan ‘fixator first’ untuk complex open fracture.
b. Pada setiap fragment tulang, pin dipasang berdasarkan kondisi jaringan lunak.
c. Hubungkan pin pada rangka atau bar yang memiliki dua pengait untuk mereposisi.
d. Setelah direposisi, kedua bars dihubungkan dengan tube ketiga dan dilakukan tube-to-tube clamps.
e. Tampak pada tulang fibula juga difiksasi untuk menjaga stabilisasi.
PERAWATAN POST OPERATIVE (1,4,5,7)
Perawatan Pin-track.
Pin site dibersihkan tiap hari dengan menggunakan cairan hydrogen peroxide atau sabun antibakteri atau dengan larutan betadine. Pasien dilatih tiap 2-4 minggu sampai penyembuhan fraktur. Pin site dijaga agar tidak terjadi infeksi dan semua hubungan fiksator di cek untuk memastikan tetap saling berhubungan. Pada 4-6 minggu pertama hanya diberikan latihan keseimbangan berat badan. Pada pasien dengan trauma pada tumit yang tidak stabil, maka pin pada kaki dapat di pertahankan lebih lama sampai tumit dapat stabil kembali.
Timing of procedure
Intramedullary nailing atau pemasangan plat atau fiksasi interna dipertimbangkan aman jika dilaksanakan dalam dua minggu pertama setelah fiksasi eksterna, dimana perawatan pin-site baik tanpa tanda-tanda infeksi. Kemudian fiksasi eksterna dapat dilepaskan setelah 6-8 minggu dengan mempertimbangkan fracture healing.
KOMPLIKASI (1,4,8)
Terdapat beberapa potensi komplikasi dengan sepsis yang pada umumnya terjadi yaitu :
Pin Tract Infection. Tanpa adanya keahlian dalam teknik pemasangan pin dan perawatan yang baik, maka hal ini merupakan komplikasi yang pada umumnya paling banyak terjadi sekitar 30 %. Dimulai dari proses radang yang berasal dari luka sampai terjadi infeksi superfisial yang dapat menyebabkan terjadinya osteomyelitis hingga memerlukan pemberian antibiotik.
Gangguan Neurovaskular . Seorang ahli bedah harus mengetahui daerah “safe zone” dan “danger zone” sebelum memasang pin. Nervus radialis pada bagian distal tangan dan pada bagian proksimal dari telapak tangan, dan arteri tibialis anterior serta nervus peroneus pada kaki merupakan tempat yang paling sering terkena. Vessel penetration , trombosis, arterivenous fistula, dan aneurysma sering ditemukan.
Refraktur. Kemungkinan besar dapat terjadi pada saat mengeluarkan pin. Seperti pada metode open reduction dapat menjadi sulit atau tidak mungkin dilakukan apabila terdapat infeksi pada pin tract.


Kamis, 13 Oktober 2011

Acetabular Fracture

Introduction

Acetabular fractures are typically high-energy injuries and are often associated with insults to other major organ systems (up to 50%).  Fractures of the acetabulum may occur with or without disruption of the pelvic ring. 
Historically, these injuries were treated non-operatively due to the complexity of the fracture and difficult surgical exposure. Letournel and Tile are widely considered to be the fathers of modern osteosynthesis of the pelvis and acetabulum. Recent authors have also improved our understanding of these potentially debilitating injuries.  

Anatomy 

The bony anatomy of the pelvis and acetabulum is extraordinarily complex, and a better understanding is generally obtained with the use of a sawbones model or cadaver specimen.
The pelvis is made up of two innominate bones, and the sacrum. There is no inherent bony stability of the pelvis , but rather the pelvis is held together by an intricate system of ligaments. (For more on Pelvic anatomy, see Pelvic Fractures)
The anterior column (iliopectineal on AP radiograph) includes the anterior wall of the acetabulum, the anterior ilium, and the superior pubic ramus, while the posterior (ilioischial line on AP radiograph) column includes the posterior wall, and the ischium from the greater sciatic notch to the ischial tuberosity.  

Classification 

The classification of acetabular fractures was first published by Judet in 1964, and was modified by Letournel in 1981. There are 5 simple and 5 associated types of acetabular fractures, for a total of 10 types.  
Simple Fracture Patterns
Posterior Wall
Posterior Column 
Anterior Wall
Anterior Column
Transverse
Associated Fracture Patterns
Posterior Column/Posterior Wall
T-Type 
Anterior Column/Posterior Hemi-transverse
Transverse Plus Posterior Wall
Both Column 

Presentation 

Patients often present with a history of high-energy trauma, most commonly an auto-related injury.  Acetabular fractures have a high incidence of concomitant injury to other major organ systems. 

Diagnosis 

Initial evaluation begins with inspection of the airway, breathing, circulation, along with a complete assessment of neurologic function, and environmental exposures (ABCDE) in accordance with American College of Surgeons Advanced Trauma Life Support. After life threatening injuries are addressed, a complete physical examination is performed from head-to-toe, including rectal examination, looking for evidence of associated open fractures of the pelvis.
Initial trauma radiographs include antero-posterior pelvis and chest views and lateral cervical spine view.  The majority of acetabular injuries are visualize on the AP view.  Additional views include the Judet views (45-degree pelvic tilt views), and inlet/outlet views.
Judet views allow for improved inspection of the columns and walls of the bony acetabulum. The obturator oblique view (injured side rotated toward xray beam--obturator foramen appear wide open) brings the iliopectineal line (density of the anterior column) and posterior wall shadow into view, while the iliac oblique view (injured side tilted away from xray beam) allows for inspection of the ilioischial line (posterior column density) and anterior wall.  Special radiographic signs to look for include the Gull Sign (lateral spike protruding from acetabulum) which signifies a posterior wall fracture and the Spur Sign (lateral continuation of the ilium that is seen as a spike above the acetabulum on an obturator view) which signifies an associated both column fracture.
The inlet radiograph demonstrates antero-posterior displacement of the pelvic ring. The outlet radiograph demonstrates supero-inferior displacement of the pelvis ring (also see Pevic Fractures). 
Computed tomography scans with 1-2mm sections, coronal and sagittal reconstructions, and 3D views also allow for improved visualization and assessment of the fracture.
 

Treatment 

Closed reduction of an associated hip dislocation should be performed as soon as the patient's condition will allow appropriate sedation and muscle relaxation. If an associated femoral neck fracture is discovered on initial plain radiographs, open reduction is suggested in order to avoid displacement of an otherwise non-displaced fracture. 

Surgical Approaches 

Acetabular fractures should be exposed to allow the surgeon to address the area of maximal displacement. Thus, if the major displacement occurs posteriorly, posterior approaches should be used, while anterior displacement should be addressed utilizing approaches that expose anteriorly.  
Kocher Langenbeck. This approach is used for displaced posterior column, posterior wall, and transverse fractures that have the largest amount displacement posteriorly. Anterior wall and anterior column fractures cannot be reduced through a Kocher-Langenbeck approach.
 The patient is placed in the lateral decubitus position, or prone. The incision is centered over the greater trochanter and extends proximally toward the posterior superior iliac spine, and distally over the shaft of the femur. The interval splits the gluteus maximus proximally, and the tensor fascia distally. The short external rotators are taken down, with care to protect the sciatic nerve. The quadratus femoris muscle is the inferior limit of the exposure around the proximal femur, to avoid injuring the blood supply to the femoral head, the medial circumflex artery. Proximally, the inferior aspect of the greater sciatic notch is used as a landmark to avoid injuring the superior gluteal artery, which, if severed can retract into the pelvis and bleed profusely. If this occurs, the patient should immediately be placed in the supine position, and direct hemostasis should be obtained.  
Ilioinguinal. This approach exposes  the anterior column, pelvic brim, quadrilateral surface, anterior SI joint and inner table of the ilium. The patient is supine on a radiolucent or fracture table with the hip flexed 20 degrees to relax the hip flexors.
The incision begins 3-4 cm superior to the pubic crest and runs superior parallel to the iliac crest. The inner table of the ilium is dissected subperiosteally to the SI joint. The external oblique aponeurosis is opened and the floor of the inguinal canal is incised, after protecting its contents (spermatic cord in males, round ligament in females). The ilioinguinal and lateral femoral cutaneous nerves are protected. The lacuna vasorum (containing the large iliac vessels) and lacuna musculorum (containing the iliopsoas and femoral nerve) are separated by the iliopectineal fascia. This fascia is separated, and the true and false pelves are connected. The three windows of the exposure are thus defined: the lateral window (exposes the iliac fossa, the SI joint and superior ilium); the middle window (exposes the quadrilateral plate and lateral pelvic brim); and the medial window (exposes the medial iliopectineal line and pubis).  
Extended Iliofemoral Approach. This approach is rarely indicated. It is associated with a high incidence of heterotopic ossification. It is useful for displaced both column fractures, and T-Type fractures with displacement both anteriorly and posteriorly.
Exposure is similar to KL approach, with added trochanteric osteotomy and elevation of the gluteus medius from the outer table of the ilium to expose the anterior column.  

Complications 

Post-traumatic arthritis. In patients with an anatomic reduction of the articular surface, the incidence of post-traumatic arthritis is 10.2%, while the risk climbs to 35.7% in those patients with an imperfect reduction. 
Avascular necrosis of the femoral head. The risk is estimated to be approximately 3.1 percent.  
Infection. Letournel, et.al. (1993) reported 13/262 patients with wound complications, 5 extra-articular and 8 intra-articular.  
Neurologic Injury. Letournel, et.al. (1993) reported 9/262 patient with neurologic injury, most commonly involving the peroneal division of the sciatic nerve. 12.5% of patients had a preoperative deficit. 
Heterotopic Ossification. The risk is highest (35%) in patients undergoing an extended iliofemoral approach. The risk for the KL and Ilioinguinal approaches is 11% and 1% respectively. Prophylaxis is recommended with either indomethacin or perioperative radiation.  

Selasa, 04 Oktober 2011

orthopaedic diagnosis

Orthopaedi adalah ilmu yang mempelajari tentang tulang, sendi, otot, tendon dan syaraf. 

Adapun 7 hal yang dipelajari dalam ilmu orthopaedi adalah
1. Kelainan kogenital dan perkembangannya.
2. Infeksi dan Inflamasi.
3. Arthritis and kelainan rematik.
4. Kelainan Metabolik dan Endokrin.
5. Tumor dan lesi yang serupa
6. Kelainan neurologis dan kelemahan pada otot
7. luka dan kerusakan mekanik (appley edisi 9, 2010)